Potensi Komoditas Kakao di Indonesia
POTENSI KAKAO DI INDONESIA
Kakao merupakan komoditi yang sedang
banyak diminati oleh banyak kalangan,
bahkan Internasional. Kakao sebagai bahan dasar pembuatan coklat yang banyak
dimintani membuat permintaan akan kakako terus meningkat, bahkan harganya pun
masih tergolong tinggi. Kakao memiliki harga jual yang sangat tinggi jika sudah masuk pengolahan agroindustri,
harga yang ditawarkan bisa lebih dari 3x lipat kakao yang masih belum di olah. Potensi
kakao sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia. Potensi sumber daya alam
yang ada sangat mendukung untuk budidaya kakao. Kakao terbesar di Indonesia
disumbang oleh Provinsi Sulawesi dengan hasil lebih dari 6,2 juta Ha (Mulyono,
2016).
Luas lahan kebun untuk budidaya
kakao ini dalam kurun satudasawarsa ini
terus mengalami peningkatan. Produksi yang dihasilkan dari komoditi kakao di
Indonesia juga meningkat, hanya saja untuk produktivitasnnya cenderung untuk
mengalami penurunan setiap tahunnya hingga 0,7 % per tahun. Hasil produksi kakao mengalami kenaikan 7,2 %
pertahun dengan luas lahan mengalami kenaikan pula sebesar 7,9 %. Akibat dari
menurunya produktivitas diakibatkan sebagian umur dari pohon kakao yang sudah
tua, jadi meskipun lahan yang digunakan mengalami peningkatan, tapi untuk kakao
yang sudah tua produksi yang dihasilkan cenderung menurun (Mulyono, 2016).
Pemerintah berupaya untuk
meningkatkan produktivitas kakao nasional melalui program (Gernas Pro-Kakao)
Gerakan Revitasisasi Kakao Nasional yang sudah didirikan mulai tahun 2009. Tujuan
didirikannya gerakan tersebut guna meningkatkan potensi-potensi yang sudah ada
di Indonesia untuk komoditas kakao khususnya. Perkebunan kakao di Indonesia
mampu memberikan dampak yang cukup signifikan, baik secara sosial, dan ekonomi
masyarakat. Penyerapan tenaga kerja perkebunan mampu meningkatkan perekonomian
masyarakat serta mengurangi pengangguran, sehingga terciptanya masyarakat yang
sejahtera ( Murtiningrum dan Bantacut, 2016).
Menurut Fadilah (2017), Kakao yang kualitasnya baik, akan menghasilkan
nilai tambah, dan produk olahannya berkualitas. Kakao yang berkualitas baik
diperoleh dari biji interlokal, dimana biji tersebut berasal dari buah
berbentuk normal, sehat, dan masak (berwarna kuning). Tanaman kakao membutuhkan
naungan selama hidupnya. Jarak tanam kakao yang diterapkan oleh 58 responden
(96,67%) 3cm x 3cm dan 2 responden (1,67%) yang lainnya menerapkan 5cm x 5cm.
Umumnya perkebunan tanaman kakao juga menggunakan tanaman lain untuk dijadikan
sebagai naungan, contohnya pohon petai Cina. Peran penyemprotan pestisida juga
sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kakao. penyemprotan
pestisida yang dilakukan di tanaman kakao terdapat dua tahapan, tahapan pertama
untuk pencegahan sebelum adanya hama yang benar-benar menyerang, dan tahapan
penyemprotan kedua dilakukan untuk memberantas hama dengan dosis yang
ditingkatkan. Penyemprotan pestisida tidak dianjurkan untuk dilakukan secara
terus-menerus karena dapat membunuh musuh alami dan merusak ekosistem.
Penduduk
yang pertama kali memanfaatkan tanaman kakao adalah suku Indian Maya dan suku
Astek, pemanfaatan tanaman kakao sebagai bahan makanan dan minuman jauh sebelum
Columbus menemukan benua Amerika. Kedatangan suku Astek dari bagian utara
ternyata dapat menaklukkan suku Indian Maya dan menguasai kebun-kebun kakao
yang ada di daerah tersebut, sejak saat itulah suku Astek mulai belajar
mengolah kakao tersebut menjadi bahan makanan dan minuman hingga bangsa Spanyol
datang. Bangsa Spanyol merupakan bangsa petama yang dikenal menanam kakao
pertama kali di Trinididad pada tahun 1525. Sejak tahun 1650, tanaman kakao
masuk ke Indonesia yang dibawa oleh bangsa Spanyol hingga Indonesia dikenal
sebagai negara pengekspor tanaman kakao (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia, 2010).
DAFTAR
PUSTAKA
Fadilah, N., Dan D.R. Hidayati. 2017. Manajemen Pemasaran Produk Kakao Kebun
Banjarsari PTPN XII Jember. Neo-Bis,
11(1): 1 – 12.
Mulyono, D. 2016. Harmonisasi Kebijakan Hulu-Hilir Dalam
Pengembangan Budidaya Dan Industri Pengolahan Kakao Nasional. Agricukture,
1(1): 1 – 16.
Martiningrum., dan T. Bantacut.
2016. Review : Potensi Dan Arah Pengembangan Agroindustri Berbasis Kakao Di Provinsi Papua Barat. Agrointek, 10(1): 1 – 11
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 2017
Sangat membantu dan bermanfaat 👍
ReplyDelete